PENGANTAR
PENDIDIKAN
“PENDIDIKAN
MASA DEPAN DALAM PENGARUH GLOBALISASI”
DISUSUN
OLEH :
NAMA : ANNISA
RAHIM
NIM
: (A1C113004)
PRODI
: FISIKA
REGULER 2013
DOSEN
PEMBIMBING : DR. ALI IDRUS, MP.d, ME
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
JAMBI TAHUN 2013/2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan bernegara, kualitas sebuah bangsa akan
ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya. Semakin tinggi kualitas sumber
daya manusia suatu bangsa, maka akan semakin tinggi pula kualitas bangsa yang
bersangkutan. Disamping secara langsung maupun tidak langsung akan berimplikasi
positif terhadap kelangsungan hidup bangsa tersebut dalam percaturan antar
bangsa di dunia. Bagaimana keadaan suatu Negara di masa depan tidak luput dipengaruhi
oleh pelaksanaan pendidikan yang dilakukan. Antara sistem pendidikan di
Indonesia dan pendidikan di negara-negara maju tidak bisa disamakan akan tetapi
negara maju dijadikan sebagai penyemangat karena masing-masing negara mempunyai
kultur yang berbeda. Dengan demikian, pelaksanaan program pendidikan dalam
rangka peningkatan mutu sumber daya manusia menjadi tuntutan yang tidak bisa di
tawar-tawar.
Seiring dengan dimasukinya era globalisasi di abad 21,
pendidikan semakin urgen dalam rangka menghadapi tuntutan zaman yang penuh
persaingan di semua aspek bidang kehidupan. Sekarang ini hampir tidak ada celah
bagi bangsa yang kualitas sumber daya manusianya rendah untuk dapat maju dan
berkembang. Sebaliknya justru bangsa tersebut secara perlahan tapi pasti akan
tenggelam dari peta percaturan dunia, seberapapun besarnya jumlah penduduk dan
luas yang dimilikinya.
Globalisasi telah mempengaruhi berbagai tatanan
kehidupan umat manusia saat ini. Oleh sebab itu, pengaruh globalisasi tidak
bisa dihindari. Perlakuan yang paling arif adalah bagaimana pengaruh
globalisasi, termasuk kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi ini,
disikapi sehingga membuahkan manfaat bagi umat manusia.
Isu-isu yang berkaitan dengan pendidikan nasional dan
globalisasi mendorong kita untuk melakukan identifikasi dan mencari titik-titik
simetris sehingga bisa mempertemukan dua hal yang tampaknya paradoksial, yaitu
pendidikan Indonesia yang berimplikasi nasional dan global. Dampak globalisasi
memaksa banyak negara meninjau kembali wawasan dan pemahaman mereka terhadap
konsep bangsa, tidak saja karena faktor batas-batas teritorial geografis,
tetapi juga aspek ketahanan kultural serta pilar-pilar utama lainnya yang
menopang eksistensi mereka sebagai nation state yang tidak memiliki imunitas
absolut terhadap intrusi globalisasi.
Globalisasi bisa dianggap sebagai penyebaran dan
intensifikasi dari hubungan ekonomi, sosial, dan kultural yang menembus
sekat-sekat geografis ruang dan waktu. Perkembangan dunia pendidikan di
Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan global, di mana
ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Era pasar bebas juga merupakan
tantangan bagi dunia pendidikan Indonesia, karena terbuka peluang lembaga
pendidikan dan tenaga pendidik dari mancanegara masuk ke Indonesia. Untuk
menghadapi pasar global maka kebijakan pendidikan nasional harus dapat
meningkatkan mutu pendidikan, baik akademik maupun non-akademik, dan
memperbaiki manajemen pendidikan agar lebih produktif dan efisien serta
memberikan akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan.
Seperti kita ketahui bersama, bahwa problem dan
tantangan pendidikan nasional dalam memasuki globalisasi harus dihadapi dengan
pendekatan dan metode yang sesuai dengan kondisi masyarakat dan tuntutan
perubahan di masa depan. Fenomena yang terjadi pada dunia pendidikan di era
global ini adalah selalu tertinggal jika dibandingkan dengan perkembangan
teknologi, informasi dan dunia bisnis.
Pendidikan merupakan sebuah usaha yang berjalan secara
terus menurus untuk menjadikan manusia (masyarakat) mencapai taraf kemakmuran.
Pendidikan di Indonesia dilihat dari segi mutunya masih sangat memprihatinkan.
Pendidikan cenderung menjadi sarana stratifikasi
sosial. Pendidikan sistem persekolahan hanya mentransfer kepada peserta didik
apa yang disebut the dead knowledge, yakni pengetahuan yang terlalu bersifat
text-bookish sehingga bagaikan sudah diceraikan baik dari akar sumbernya maupun
aplikasinya.
Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah
dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi sejauh ini belum
menampakkan hasilnya. Mengapa kebijakan pembaharuan pendidikan di tanah air
kita dapat dikatakan senantiasa gagal menjawab problem masyarakat? Sesungguhnya
kegagalan berbagai bentuk pembaharuan pendidikan di tanah air kita bukan
semata-mata terletak pada bentuk pembaharuan pendidikannya sendiri yang
bersifat erratic, tambal sulam, melainkan lebih mendasar lagi kegagalan
tersebut dikarenakan ketergantungan penentu kebijakan pendidikan pada
penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam perubahan sosial yang sudah
usang. Ketergantungan ini menyebabkan adanya harapan-harapan yang tidak
realistis dan tidak tepat terhadap efikasi pendidikan.
Menghadapi kenyataan di atas, sekaligus sebagai respon
terhadap lamban dan kurang dinamisnya pendidikan di Indonesia, maka upaya
peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan nasional dimasa harus dijadikan
agenda utama disamping perbaikan manajemen dan pemerataan pendidikan.
UNESCO sebagai lembaga yang mengurusi masalah
pendidikan di bawah naungan PBB telah merumuskan empat pilar pendidikan dalam
rangka pelaksanaan pendidikan untuk masa sekarang dan masa depan, pilar tersebut
adalah pilar (1) learning to Know (belajar untuk mengetahui), (2) learning to
do (belajar untuk melaku kan sesuatu) dalam hal ini kita dituntut untuk
terampil dalam melakukan sesuatu, (3) learning to be (belajar untuk menjadi
seseorang), dan (4) learning to live together (belajar untuk menjalani
kehidupan bersama). (5) learn how to learn (belajar men ggunakan metode yang
tepat) dan yang terakhir learning trou gho ut life (belajar sepanjang hayat).
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di
uraikan, dapat dirumuskan masalah-masalah yang akan dibahas pada makalah ini
yaitu sebagai berikut:
- Apa pengaruh globalisasi dalam pendidikan di Indonesia?
- Bagaimana hubungan pendidikan dan jeratan arus globalisasi?
- Bagaimana dehumanisasi rasionalitas globalisasi?
- Apa visi pendidikan di era globalisasi?
- Bagaimana analisa para ahli mengenai pendidikan nasional dalam globalisasi?
- Bagaimana pengembangan SDM Indonesia menghadapi globalisasi?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui dan
memahami bagaimana pendidikan dan pembelajaran dalam menghadapi tantangan
global.
2. Mengetahui pengaruh
globalisai dalam pendidikan.
3. Memahami visi
pendidikan dalam globalisasi
4. Untuk memenuhi Tugas
Mata Kuliah Pengantar Pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengaruh Globalisasi
dalam Pendidikan
Dalam
hembusan era globalisasi, gemanya tak hanya menerpa bidang ekonomi dan
informasi/telekomunikasi saja, tetapi menyentuh hampir semua tatanan kehidupan
umat manusia. Esensinya adalah bahwa kerja sama internasional antarnegara
merupakan prasyarat dalam menata kehidupan global yang lebih baik. Globalisasi
bukan berarti persaingan antarbangsa dalam arti sempit. Globalisasi bukan berarti
persaingan antarbangsa dalam arti sempit. Globalisasi bukan pula penindasan si
kuat kepada si lemah, tetapi lebih merupakan pranata baru antarbangsa yang
berpijak pada semangat kebersamaan guna kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Di tengah pesimisme konflik kepentingan antarbangsa di beberapa bagian belahan
dunia, ternyata globalisasi menjanjikan nuansa baru bagi kehidupan yang lebih
arif dengan berlandaskan kebersamaan, saling menghormati, saling membutuhkan.
Naisbit dan
Patricia (1990: 38-39, 244-245) merinci beberapa konsekuensi logis adanya
globalisasi di bidang pendidikan ini antara lain:
Pertama, dalam
globalisasi, sistem nilai dan filsafat merupakan posisi kunci dalam garapan
pendidikan nasional. Semua negara menempatkan sistem nilai dan etika sebagai
landasan utama dalam merancang kurikulum nasionalnya. Di Amerika Serikat
misalnya, saat ini sekitar 5000 sekolah sudah mulai merintis mengajarkan
filsafat untuk anak yang mula pertama dikembangkan oleh Mattew Lipman dengan Institute
for the Advance of Philosophy for the Children. “Suatu hal yang tak mungkin
mengembangkan pengetahuan tanpa sistem nilai”, dengan demikian dikatakan Nathan
Quinones seorang konselor sekolah di New York.
Kedua, globalisasi
menuntut adanya angkatan kerja yang berkualifikasi dan berpendidikan (skilled
and educated). Dalam masyarakat informasi, lapangan kerja terutama
dialamatkan pada mereka yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang
berlatar pendidikan yang memadai. Sebaliknya, mereka yang miskin
keterampilan dan tuna pendidikan, akan berderet mengisi barisan pengangguran
atau sebagai kelompok pekerja dengan gaji yang sangat minim. Sebagai
perbandingan, presentase pengangguran di Amerika Serikat untuk lulusan S1 atau
lebih (graduate) hanyalah 1,7%. Untuk lulusan diploma atau akademi
mencapai 3,7%, sedangkan lulusan sekolah menengah sebanyak 5,4%.
Ketiga, kerja sama
pendidikan mutlak di perlukan. Kerja sama internasional di bidang pendidikan
adalah sisi lain daripada konsekuensi globalisasi. Bantuan dana, pengiriman
tenaga ahli, ataupun pemberian beasiswa dan pengiriman siswa tugas belajar ke
luar negeri merupakan salah satu bentuk kerja sama internasional di bidang
pendidikan. Di jepang misalnya, kendati angka partisipasi pendidikan cukup
tinggi dengan proporsi lulusan di bidang sains tertinggi (mencapai 68% dari
total lulusan yang ada), negara matahari terbit ini masih secara gencar
melaksanakan kerja sama internasional di bidang pendidikan. Hal yang sama juga
terjadi di Taiwan. Negeri Cina nasionalis ini, setiap tahunnya mengirim sekitar
7000 lulusan SMU untuk disekolahkan ke berbagai universitas di USA. Saat ini,
di Taiwan terdapat angkatan kerja sekitar 100.000 lulusan USA, dan 10.000 orang
di antaranya telah meraih gelar Doktor.
Ihwal
globalisasi di bidang pendidikan ini sebenarnya telah dirintis badan dunia PBB
semenjak dua dasawarsa yang lalu. Lewat “trilog pendidikan global” misalnya,
badan dunia PBB di bidang pengembangan telah mencanangkan tiga kebutuhan
mendesak bagi pendidikan global, terutama bagi negara berkembang, yaitu:
- demokrasi pendidikan,
- modernisasi pendidikan dengan menghormati identitas budaya, serta
- adaptasi pendidikan dengan tuntutan pekerjaan produktif searah dengan kebutuhan lapangan kerja.
Di bidang
demokratisasi pendidikan, tercuat nilai hakiki tentang pendidikan itu sendiri
bahwa melalui pendidikan yang ditempuh dimaksudkan untuk mendidik masyarakat menuju
kemandirian, menuju ke suatu wujud pemerataan untuk memperoleh pendidikan
seluas-luasnya. Pendidikan adalah universal dan hak semua orang atau lazim juga
disebut sebagai education is universal and for all.
Modernisasi
pendidikan mencakup antara lain keragaman alternatif dalam pelayanan pendidikan
dan proses belajar-mengajar. Beberapa bentuk modernisasi pendidikan antara lain
pendidikan jarak jauh, pendidikan dengan multimedia, cara belajar tuntas, atau
dengan pendekatan nonkonvensional lainnya dalam bidang pendidikan. Semuanya
bermuara sama ke arah globalisasi pendidikan, serta pemerataan perolehan
pendidikan untuk semua orang tanpa rintangan atau hambatan, baik secara
geografis, psikis, fisik, finansial maupun halangan yang sifatnya dukungan
kultural.
Adaptasi
pendidikan merupakan hakikat usaha ke arah menjembatani kesenjangan antara
angkatan kerja yang dihasilkan lembaga pendidikan dengan lapangan kerja yang
tersedia. Kesenjangan ini bisa bersifat kesenjangan okupasional, kesenjangan
akademik, ataupun mungkin kesenjangan kultural/budaya, karena masyarakat belum
siap secara kultur dalam mengantisipasi gejolak perkembangan yang ada.
B.
Hubungan antara Pendidikan dan Jeratan Arus Globalisasi
Pendidikan
dimaknai oleh banyak pakar sebagai institusi untuk mendidikan generasi manusia
dengan berbagai disiplin ilmu. Peradaban manusia juga tidak terlepas dari
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dunia akan berubah menjadi maju atau
bahkan mengalami kemunduran tergantung pada penguasaan pengetahuan. Dilihat
dari aspek historis pendidikan di Indonesia adalah warisan kolonial belanda
yang sampai sekarang watak pendidikan Indonesia masih tercerabut dari akar
tradisi.
Untuk menata
kembali butuh sistem pendidikan yang jelas, dan yang paling vital adalah bagaimana
merumuskan paradigma. Belum lagi terkait dengan kebijakan pemerintah saat ini,
kebijakan belum berpihak kepada masyakat yang belum mampu. Hegemoni negara
tentu sangat bersinggungan dengan kebijakan pendidikan, sehingga kekuasaan dan
pendidikan harus dipisahkan dari mata rantai kepentingan politik sesaat.
Kemajuan
peradaban yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi berimplikasi
pada moralitas manusia. Efek globalisasi misalnya telah merambah berbagai
sektor kehidupan manusia, mulai dari alat komunikasi, transportasi, dunia maya,
dan kecanggihan teknologi lainnya. Globalisasi telah berdampak pada mainstream
bahwa manusia harus bisa mengendalikan teknologi.
Globalisasi
ditandai dengan ketersinggungan antara negara, pasar atau sistem ekonomi global
dan masyarakat sipil. Kalau diurai maka persoalan pendidikan Indonesia tidak
hanya masalah penataan kurikulum, profesionalitas guru, out-put lembaga
pendidikan, paradigma pendidikan, dan persoalan internal penyelenggaraan
lembaga pendidikan lainnya. Tapi lebih dari itu ada faktor eksternal yang juga
sangat berpengaruh pada pendidikan Indonesia yaitu persoalan rakyat miskin
sehingga tidak mampu sekolah, disorientasi kebijakan pemerintah, pendidikan market
oriented, relasi kekuasaan negara, dan pusaran arus globalisasi.
Rumusan
paradigma pendidikan tentu jangan sampai lemah karena terseret arus
globalisasi. Sehingga tidak mengorbankan nilai-nilai yang terkandung dalam
pendidikan dengan memaksa out-put untuk diterjunkan ke dunia pasar kerja.
Karena globalisasi tidak bisa dibendung maka sikap kita adalah harus berdapasi
secara arif tanpa harus menolaknya. Kekuasaan negara yang berkolaborasi dengan
kekuatan ekonomi global inilah yang menimbulkan dampak negatif dalam segala
sektor negara termasuk dalam hal ini adalah dunia pendidikan.
C.
Visi Pendidikan di Era Globalisasi
Dalam sebuah
penelitiah ilmiah Human Recource Development in the Globalization Era,
Vision, Mission, and Programs of Action for Education and Training Toward 2020 H.A.R
Tilaar, menjelaskan tentang program aksi menyeluruh dalam menghadapi gelombang
globalisasi. Empat kekuatan yang perlu dicermati pendidikan nasional; 1)
kerjasama regional dan internasional, 2) demokrasi dan peningkatan kesadaran
HAM serta pemberdayaan masyarakat (social empowerment), 3) kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, 4) identitas bangsa dan internasionalisme.
Orientasi
kebijakan negara yang mengendepankan ideologi developmentalisme telah menyeret
masyarakat ke jurang kemiskinan, betapa tidak infrastruktur yang dibangun tentu
hanya diperuntukkan bagi mereka yang kaya. Jarak (detachment) kelas
sosial si kaya dan si miskin semakin jelas terlihat dari akses masyarakat kecil
terhadap perlindungan hukum. Produk hukum hanya untuk melindungan pada pemegang
modal. Implikasi pada dunia pendidikan adalah bahwa sekolah juga dijadikan
ajang bisnis. Pendidikan semakin mahal dengan dalih fasilitas tehnologi canggih
yang butuh modal hanya sebagai servis pendidikan.
D.
Analisa Para Ahli Mengenai Pendidikan Nasional dalam Globalisasi
Ignas Kleden
memberikan analisa kritis bahwa pendidikan nasional. Pertama, harus
menciptakan masyarakat yang mempunyai kemampuan berfikir logis dan bertindak
logis. Kedua, pendidikan humaniora harus dibedakan dari ilmu-ilmu
humaiora dalam pengertian epistemologis, sehingga pendidikan humaniora
menekankan kualitas-kualitas manusiawi dari peserta didik. Ketiga,
pendidikan bukan hanya menciptakan orang dengan keahlian, tetapi orang-orang
dengan kemampuan belajar tinggi.
Tanpa
mengabaikan otoritas negara dan arus globalisasi yang terus menggerus kekuatan
masyarakat sipil, sistem pendidikan Indonesia harus merobah fundamen paradigma
pendidikan. Pertama, perlu penataan sistem pendidikan yang beradaptasi
dengan kekuatan global. Kedua, penegakan supremasi hukum dan kedaulatan
politik nasional demi menciptakan kondusifitas segala sektor kehidupan,
demokrasi, agama, pendidikan, sosial, politik, ekonomi, budaya, hankam. Ketiga,
paradigma pendidikan untuk semua kalangan—education for all—dan
pendidikan sepanjang hidup—long life education—harus menjadi mainstream
kebijakan pendidikan nasional. Keempat, di masa depan perlu memberi
peranan yang seluas-luasnya kepada kaum wanita untuk mendapat kesempatan dalam
pendidikan. Kelima, pentingnya media elektronik dalam penyebarluasan
pendidikan, termasuk pengembangan sistem belajar jarak jauh dan pemanfaatan
komputer untuk pendidikan. Keenam, publikasi dan penelitian serta
pengembangan pendidikan merupakann hal yang sangat mendasar bagi setiap
masyarakat yang ingin maju.
E.
Pengembangan SDM Indonesia Menghadapi Globalisasi
Dalam
kompetisi menghadapi globalisasi Sumber Daya Manusia memegang peranan yang
sangat penting. Bila tidak siap maka manusia Indonesia akan tergilas oleh
globalisasi. Akan tetapi bila siap, maka kita akan menjadi sang pemenang.
Secara sederhana kita dapat mendefisikan sikap pemenang (winner) yaitu:
- Adalah mereka yang berada didepan perubahan, terus-menerus meredifinisi bidang kegiatannya, menciptakan pasar baru, membuat trobosan baru, menemukan kembali cara-cara berkompetisi, menantang status quo.
- Pimpinan yg mau mendesentralisasi kekuasaannya dan mendemokratisasikan strateginya dengan melibatkan berbagai orang baik yg ada di dalam maupun di luar organisasinya dalam proses menemukan kiat utk menghadapi masa depan
Untuk
menghadapi globalisasi kita dapat menerapkan kiat 3C yaitu:
- Competence,
- Concept and
- Connection
Dengan
mengembangkan 3C diatas maka diharapkan akan terjadi peningkatan sumber daya
manusia Indonesia menghadapi globalisasi.
F. Pendidikan Masa Depan
1. Tantangan
Masa Depan bagi Pendidikan
Menurut Prof Dr Yahya Muhaimin, sedikitnya ada tiga hal yang merupakan tantangan bagi pendidikan Indonesia di masa depan. Pertama, arus globalisasi yang berlangsung sejak awal tahun 1990an dan hingga kini masih terasa pengaruhnya. Kedua, sistem pendidikan yang masih mencari kemantapan dan kestabilan. Ketiga, nilai-nilai budaya masyarakat indonesia yang belum bisa mendudukan proses pembaharuan, seperti : ”jalan pintas”, tidak disiplin, egosentris, patrimonialisme
Menurut Prof Dr Yahya Muhaimin, sedikitnya ada tiga hal yang merupakan tantangan bagi pendidikan Indonesia di masa depan. Pertama, arus globalisasi yang berlangsung sejak awal tahun 1990an dan hingga kini masih terasa pengaruhnya. Kedua, sistem pendidikan yang masih mencari kemantapan dan kestabilan. Ketiga, nilai-nilai budaya masyarakat indonesia yang belum bisa mendudukan proses pembaharuan, seperti : ”jalan pintas”, tidak disiplin, egosentris, patrimonialisme
Perkembangan
pendidikan secara nasional di era reformasi, yang sering disebut-sebut oleh
para pakar pendidikan maupun oleh para birokrasi di bidang pendidikan sebagai
sebuah harapan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini dengan
berbagai strategi inovasi, ternyata sampai saat ini masih berwujud impian.
Bahkan hampir bisa dikatakan bahwa yang kita peroleh saat ini bukanlah
kemajuan, melainkan “sebuah kemunduran yang tak pernah terjadi selama bangsa
ini berdiri”.
Kalimat tersebut mungkin sangat radikal untuk diungkapkan, tapi inilah kenyataan yang terjadi di lapangan, sebagai sebuah ungkapan dari seorang guru yang mengkhawatirkan perkembangan pendidikan dewasa ini.
Kalimat tersebut mungkin sangat radikal untuk diungkapkan, tapi inilah kenyataan yang terjadi di lapangan, sebagai sebuah ungkapan dari seorang guru yang mengkhawatirkan perkembangan pendidikan dewasa ini.
Tidak dapat
dipungkiri, berbagai strategi dalam perubahan kurikulum, mulai dari Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) sampai pada penyempurnaannya melalui Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), merupakan sebuah inovasi kurikulum pendidikan
yang sangat luar biasa, bahkan sangat berkaitan dengan undang-undang nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni yang menyatakan bahwa
pengelolaan satuan pendidikan usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah, dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip
MBS.
Proses
pendidikan tidak hanya sekadar mempersiapkan anak didik untuk mampu hidup dalam
masyarakat kini, tetapi mereka juga harus disiapkan untuk hidup di masyarakat
yang akan datang yang semakin lama semakin sulit diprediksi karakteristiknya.
Kesulitan memprediksi karakteristik masyarakat yang akan datang disebabkan oleh kenyataan bahwa di era global ini perkembangan masyarakat tidak linier lagi. Perkembangan masyarakat penuh dengan diskontinuitas. Oleh karena itu, keberhasilan kita di masa lalu belum tentu memiliki validitas untuk menangani dan menyelesaikan persoalan pendidikan masa kini dan masa yang akan datang.
Kesulitan memprediksi karakteristik masyarakat yang akan datang disebabkan oleh kenyataan bahwa di era global ini perkembangan masyarakat tidak linier lagi. Perkembangan masyarakat penuh dengan diskontinuitas. Oleh karena itu, keberhasilan kita di masa lalu belum tentu memiliki validitas untuk menangani dan menyelesaikan persoalan pendidikan masa kini dan masa yang akan datang.
Pada era
globalisasi, era abad ke-21, di samping dunia mengalami perkembangan teknologi
yang dahsyat, termasuk teknologi informasi, dunia juga mengalami keterbukaan
yang amat sangat, sehingga umat manusia mengalami mobilitas yang bukan main
cepatnya. Karena itu kita juga mengalami perubahan masyarakat yang tidak
putus-putusnya, yang menyebabkan umat juga mengalami ketidakseimbangan.
Konstagnasi ini bisa dilihat dari buah pikiran para pemikir dunia, seperti John
Naisbitt, Samuel Huntington, Kenichi Ohmae, Francis Fukuyama, dan lain-lain.
Pada dimensi
yang lain, globalisasi akan memudahkan masuknya nilai-nilai baru. Begitu deras
nilai-nilai baru itu membanjiri masyarakat sehingga amat sering tidak lagi
dapat di kontrol secara memadai. Akhirnya anggota masyarakat menjadi mengalami
kebingungan dan ketidak-seimbangan hidup, bahkan shizophrenia. Dalam kondisi
seperti itulah maka tidak pernah akan mudah orang memiliki daya kreatifitas dan
kompetitif.
Selain itu, guna menciptakan dan memelihara anggota masyarakat menjadi ”kuat” maka lembaga dan sistem pendidikan harus menopangnya. Yakni agar lembaga dan sistem pendidikan kita benar-benar berfungsi secara optimal. Sistem ini pada satu segi menyediakan sarana dan prasarana yang memadai, dan pada segi lain juga membina serta memelihara para guru menjadi kuat, menjadi memiliki kompetensi yang memadai antara dengan menjaga harga diri dan wibawa serta kesejahteraan ekonomi para guru sehingga bisa berfungsi secara optimal.
Selain itu, guna menciptakan dan memelihara anggota masyarakat menjadi ”kuat” maka lembaga dan sistem pendidikan harus menopangnya. Yakni agar lembaga dan sistem pendidikan kita benar-benar berfungsi secara optimal. Sistem ini pada satu segi menyediakan sarana dan prasarana yang memadai, dan pada segi lain juga membina serta memelihara para guru menjadi kuat, menjadi memiliki kompetensi yang memadai antara dengan menjaga harga diri dan wibawa serta kesejahteraan ekonomi para guru sehingga bisa berfungsi secara optimal.
Hal yang
penting di dalam proses pendidikan tersebut, karena itu, adalah terpeliharanya
”rasa ingin tahu” (curiosity), sebab tanpa adanya curiosity maka sulit bagi
kita untuk mempunyai kreativitas dan inovasi.
Dan walaupun
kontroversi terhadap dimensi struktural dan kultural hingga kini belum
berakhir, namun faktor budaya merupakan faktor yang penting. Nilai-nilai budaya
dapat menjadi faktor penunjang yang utama namun juga dapat menjadi tantangan
yang serius. Pola budaya yang amat dominan dalam kehidupan orang indonesia
adalah patrimonialisme, kolektivisme dan paternalisme.
Paternalisme
selama ini telah menjadi faktor stabilisator, demikian juga kolektivisme
(sharing atau kebersamaan) telah mendorong terpeliharanya harmoni di dalam
masyarakat. Pada masa-masa era zaman klasik, patrimonialisme juga telah mendorong
berlangsungnya kestabilan.
Namun dalam
era keterbukaan dan reformasi, maka pola-pola budaya seperti di atas harus
mengalami transformasi sebagaimana Jepang mengalami transformasi dari nilai
samurai menjadi nilai entrepreneurial yang begitu inovatif dan kompetitif
2. Pendidikan
yang Ber-nilai
Tanpa mengurangi arti hasil-hasil pendidikan yang telah dicapai selama ini dan juga program yang telah, sedang dan terus dilaksanakan, pendidikan nasional Indonesia ke depan, harus menggunakan konsep kebermaknaan dalam setiap kegiatan pembelajarannya, atau dalam istilah singkatnya pendidikan yang ber-nilai. Artinya, pendidikan jangan lagi difungsikan sebagai formalitas kegiatan pemerintah yang menghabiskan dana trilyunan rupiah, tetapi betul-betul harus mampu memberikan value (nilai) bagi peserta didik sehingga mereka mampu hidup secara dinamis di masyarakat, mampu beradaptasi, dan terbebas dari rasa ketergantungan terhadap orang lain karena ilmu yang diperoleh mampu menopang perjuangannya untuk mencapai penghidupan yang layak.
Tanpa mengurangi arti hasil-hasil pendidikan yang telah dicapai selama ini dan juga program yang telah, sedang dan terus dilaksanakan, pendidikan nasional Indonesia ke depan, harus menggunakan konsep kebermaknaan dalam setiap kegiatan pembelajarannya, atau dalam istilah singkatnya pendidikan yang ber-nilai. Artinya, pendidikan jangan lagi difungsikan sebagai formalitas kegiatan pemerintah yang menghabiskan dana trilyunan rupiah, tetapi betul-betul harus mampu memberikan value (nilai) bagi peserta didik sehingga mereka mampu hidup secara dinamis di masyarakat, mampu beradaptasi, dan terbebas dari rasa ketergantungan terhadap orang lain karena ilmu yang diperoleh mampu menopang perjuangannya untuk mencapai penghidupan yang layak.
Untuk dapat
memberikan nilai yang lebih pada pendidikan kita, secara teknis upaya
pembelajaran yang ofensif dan pro aktif (offensive learning) menjadi tuntutan
mutlak. Prinsipnya, proses pembelajaran tidak dikendalikan oleh guru, tetapi
dikendalikan oleh peserta didik/pembelajar. Apa yang harus diajarkan, bilamana
diajarkan, dan bagaimana harus diajarkan semuanya ditentukan oleh pembelajar.
Pola pikir yang mendasarinya adalah pendidikan baik formal maupun non formal
tidak lagi terpisah dengan dunis bisnis, perdagangan dan politik yang notabene
merupakan realita kehidupan sehari-hari.
Dengan
konsep pembelajaran yang ber-nilai, kompetensi yang berbasis kecakapan hidup
(life skill) menjadi tujuan pembelajaran yang terpenting. Siswa diharapkan
tidak hanya mampu mempelajari ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi
sebatas teori, tetapi betul-betul menjadi keterampilan hidup yang dapat dijadikan
bekal untuk hidup secara bermakna bagi semua peserta didik. Jadi paradigma
pendidikan masa depan harus diubah dari sekolah untuk mendapatkan ijazah atau
keterangan lulus, menjadi sekolah untuk mendapatkan ilmu sebagai bekal hidup.
Dengan demikian, di masa-masa mendatang tidak akan terdengar lagi lulusan
sekolah yang menganggur karena tidak mendapatkan pekerjaan, sebab mereka akan
mampu menciptakan lapangan kerja sendiri, bahkan untuk orang lain. Sekolah di
masa depan ibaratnya seperti orang “magang”. Jadi ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh di sekolah langsung bisa dipraktekkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Hanya saja,
agar dapat memberikan pendidikan yang ber-nilai bagi peserta didik dibutuhkan
paling tidak 3 konmponen yang berkualitas dan saling menunjang, yaitu guru,
kurikulum dan sarana prasarana belajar.
Harus
diakui, guru adalah komponen terpenting dalam upaya pencapaian pendidikan yang
ber-nilai. Karena siapapun pasti sependapat bahwa guru merupakan unsur utama
dalam keseluruhan proses pendidikan, khususnya di tingkat institusional dan
instruksional. Tanpa guru, pendidikan hanya akan menjadi slogan muluk karena
segala bentuk kebijakan dan program pada akhirnya akan ditentukan oleh kinerja
guru. Oleh karena itu, supaya pendidikan menjadi ber-nilai, maka guru yang
bertanggung jawab terhadap berhasil tidaknya pendidikan haruslah guru yang
betul-betul profesional dan memiliki nilai plus. Profesional ditandai dengan
keahlian, tanggung jawab dan rasa kesejawatan yang tinggi serta didukung oleh etika
profesi yang kuat. Sedangkan nilai plus ditandai dengan wawasan pengetahuan dan
atau pengalaman yang luas dalam bidang bisnis, perdagangan dan menyiasati
hidup. Tanpa guru yang profesional dan memiliki nilai plus, proses pembelajaran
di sekolah tidak akan berjalan optimal dan hanya akan berhenti sebatas teori.
Akibatnya tujuan pendidikan agar ber-nilai bagi peserta didik tidak akan pernah
tercapai.
Kurikulum,
juga merupakan komponen yang tidak kalah pentingnya untuk mencapai pendidikan
yang ber-nilai. Karena kurikulum tidak saja menentukan arah dan tujuan
pendidikan yang ingin dicapai, tetapi secara teknis kurikulum juga menjadi
acuan pelaksanaan program pembelajaran di sekolah. Program pembelajaran yang
dimaksud adalah Program Tahunan, Program Semester, maupun program yang
digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran yang dikenal dengan
nama Satuan Pembelajaran dan Rencana Pembelajaran. Kurikulum yang mendukung
pendidikan yang ber-nilai adalah kurikulum yang memberikan akses seluas-luasnya
pada peserta didik untuk mengembangkan kecakapan hidup sesuai potensinya. Untuk
itu setiap poin kegiatan pembelajaran yang tercantum dalam kurikulum secara
jelas dan tegas hendaknya mencantumkan kemampuan riil yang dimiliki peserta
didik yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara
sarana prasarana pendidikan merupakan komponen penunjang yang tidak dapat
diabaikan dalam pencapaian pendidikan yang ber-nilai. Kuantitas dan kualitas
sarana prasarana pendidikan, akan sangat menentukan keberhasilan program
pembelajaran di sekolah. Hal ini bisa dipahami karena sarana prasarana
pendidikan merupakan pendukung langsung terselenggaranya kegiatan pembelajaran.
Termasuk dalam sarana prasarana pendidikan ini adalah alat pembelajaran (buku
dan alat tulis), alat peraga, media pendidikan, gedung, meubeler (meja, kursi,
dll), jalan menuju sekolah, asrama, dan sebagainya.
3. Perkembangan
Teknologi Pendidikan
Pernahkah anda membayangkan bahwa sekitar 10 tahun atau 15 tahun kedepan, pendidikan tidak lagi membutuhkan diktat tebal yang mesti dijinjing setiap harinya melainkan digantikan dengan e-modul atau e-book serta konsep ujian yang serba online. Kira-kira seperti itulah bayangan sekolah masa depan yang akan kita hadapi di waktu yang tak terlalu lama lagi.
Pernahkah anda membayangkan bahwa sekitar 10 tahun atau 15 tahun kedepan, pendidikan tidak lagi membutuhkan diktat tebal yang mesti dijinjing setiap harinya melainkan digantikan dengan e-modul atau e-book serta konsep ujian yang serba online. Kira-kira seperti itulah bayangan sekolah masa depan yang akan kita hadapi di waktu yang tak terlalu lama lagi.
Maraknya
perkembangan teknologi yang diaplikasikan dalam dunia pendidikan mulai dari
perangkat hingga software edukasi memang menopang harapan yang besar dari semua
orang agar mampu mewujudkan potret sekolah masa depan yang jauh lebih baik dari
kondisi yang ada sekarang.
Dimulai
dengan demam homeschooling yang terjadi beberapa tahun silam telah menjadi
napak tilas kemajuan pendidikan khususnya dalam kaitannya dengan perkembangan
teknologi. Dahulu tak pernah terbayang bahwa kita bisa menikmati pelajaran
tanpa harus beranjak dari rumah serta mampu melaksanakan ujian di meja belajar
kita sendiri dengan bantuan internet.
Selanjutnya
perkembangan software edukasi yang marak dikembangkan untuk membantu para siswa
belajar baik dalam hal simulasi, praktek teori serta perkembangan e-book dan
e-modules yang bisa didapatkan oleh siswa juga makin memperkuat peranan
teknologi dalam membantu dunia pendidikan.
Menggunakan
teknologi memungkinkan siswa lebih banyak untuk secara aktif berpikir tentang
informasi, membuat pilihan, dan melaksanakan keterampilan daripada yang
biasanya dibimbing oleh guru. Apalagi, ketika teknologi digunakan sebagai alat
untuk mendukung siswa dalam melaksanakan tugas-tugas otentik, para siswa berada
dalam posisi menentukan tujuan mereka, membuat keputusan desain, dan
mengevaluasi kemajuan mereka.
Peran guru pun turut berubah. Guru tidak lagi menjadi pusat perhatian sebagai dispenser informasi, melainkan memainkan peran sebagai fasilitator, menetapkan tujuan proyek dan memberikan pedoman dan sumber daya, bergerak dari siswa untuk siswa atau kelompok ke kelompok, memberikan saran dan dukungan untuk kegiatan siswa.
Peran guru pun turut berubah. Guru tidak lagi menjadi pusat perhatian sebagai dispenser informasi, melainkan memainkan peran sebagai fasilitator, menetapkan tujuan proyek dan memberikan pedoman dan sumber daya, bergerak dari siswa untuk siswa atau kelompok ke kelompok, memberikan saran dan dukungan untuk kegiatan siswa.
Kemampuan
untuk mendapatkan fasilitas online dengan bantuan guru untuk penelitian proyek
adalah keuntungan besar bagi para siswa dan bahkan suatu keharusan dengan
pertimbangan bahwa mereka akan perlu melakukannya ketika mereka telah lulus
sekolah dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Dengan
memanfaatkan teknologi dalam kelas, siswa bisa mendapatkan ilmu baru dan
keterampilan yang dapat berguna pada tingkat berikutnya di mana kelak dapat
diterapkan pada pekerjaan di masa depan dan kehidupannya sehari-hari.
BAB III
PENUTUP
Pendidikan
berjalan sepang h ayat masyarakat, dengan menekankan sikap kreatif, kritis,
tanggap terhadap permasalahan lingkungan dan memiliki nilai moral yang tinggi.
Selain itu pendidikan tidak terlepas dari kultur bangsa sebagai karakter, dan
tentunya adan ya kesesuaian antara tujuan pendidikan dan kebutuhan sumber daya
manusia yang diperlukan di masyarakat. Pemerintah sebagai salah satu tonggak
pelaksanaan pendidikan sudah menjadi kewajiban ikut berpartisipasi dalam
pelaksanaan pelayanan pendid ikan sebagaimana tercantum dalam UU Dasar 45 yaitu
mencerdask an kehidupan bangsa. Pendidikan di Indonesia untuk masa depan selain
mengedepankan aspek intelektualitas juga menekankan aspek kesadaran moral
sebagai penyeimbang tatkala seorang peserta didik berinteraksi langsung baik
dengan pendidik atau masyarakat umum. Begitu banyak tantangan dan permasalahan
dalam pendidikan untuk menghadapi masa depan. Sehingga kualitas pendidikan
harus terus ditingkatkan agar kita mampu menghadapi segala tuntutan masa depan.
Harus banyak perubahan mulai dari system pendidikan itu sendiri, nilai-nilai
karakter bangsa dan juga pemanfaatan perkembangan teknologi masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Wahyudin,
Dinn, 2006, Pengantar Pendidikan, Cetakan ke-17, Universitas Terbuka,
Jakarta