Rabu, 15 Januari 2014

Pendidikan Masa Depan Dalam Pengaruh Global



PENGANTAR PENDIDIKAN
“PENDIDIKAN MASA DEPAN DALAM PENGARUH GLOBALISASI”

DISUSUN OLEH :
NAMA                                    : ANNISA RAHIM
NIM                                        : (A1C113004)
PRODI                                    : FISIKA REGULER 2013
DOSEN PEMBIMBING       : DR. ALI IDRUS, MP.d, ME


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI TAHUN 2013/2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan bernegara, kualitas sebuah bangsa akan ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya. Semakin tinggi kualitas sumber daya manusia suatu bangsa, maka akan semakin tinggi pula kualitas bangsa yang bersangkutan. Disamping secara langsung maupun tidak langsung akan berimplikasi positif terhadap kelangsungan hidup bangsa tersebut dalam percaturan antar bangsa di dunia. Bagaimana keadaan suatu Negara di masa depan tidak luput dipengaruhi oleh pelaksanaan pendidikan yang dilakukan. Antara sistem pendidikan di Indonesia dan pendidikan di negara-negara maju tidak bisa disamakan akan tetapi negara maju dijadikan sebagai penyemangat karena masing-masing negara mempunyai kultur yang berbeda. Dengan demikian, pelaksanaan program pendidikan dalam rangka peningkatan mutu sumber daya manusia menjadi tuntutan yang tidak bisa di tawar-tawar.
Seiring dengan dimasukinya era globalisasi di abad 21, pendidikan semakin urgen dalam rangka menghadapi tuntutan zaman yang penuh persaingan di semua aspek bidang kehidupan. Sekarang ini hampir tidak ada celah bagi bangsa yang kualitas sumber daya manusianya rendah untuk dapat maju dan berkembang. Sebaliknya justru bangsa tersebut secara perlahan tapi pasti akan tenggelam dari peta percaturan dunia, seberapapun besarnya jumlah penduduk dan luas yang dimilikinya.
Globalisasi telah mempengaruhi berbagai tatanan kehidupan umat manusia saat ini. Oleh sebab itu, pengaruh globalisasi tidak bisa dihindari. Perlakuan yang paling arif adalah bagaimana pengaruh globalisasi, termasuk kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi ini, disikapi sehingga membuahkan manfaat bagi umat manusia.
Isu-isu yang berkaitan dengan pendidikan nasional dan globalisasi mendorong kita untuk melakukan identifikasi dan mencari titik-titik simetris sehingga bisa mempertemukan dua hal yang tampaknya paradoksial, yaitu pendidikan Indonesia yang berimplikasi nasional dan global. Dampak globalisasi memaksa banyak negara meninjau kembali wawasan dan pemahaman mereka terhadap konsep bangsa, tidak saja karena faktor batas-batas teritorial geografis, tetapi juga aspek ketahanan kultural serta pilar-pilar utama lainnya yang menopang eksistensi mereka sebagai nation state yang tidak memiliki imunitas absolut terhadap intrusi globalisasi.
Globalisasi bisa dianggap sebagai penyebaran dan intensifikasi dari hubungan ekonomi, sosial, dan kultural yang menembus sekat-sekat geografis ruang dan waktu. Perkembangan dunia pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan global, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Era pasar bebas juga merupakan tantangan bagi dunia pendidikan Indonesia, karena terbuka peluang lembaga pendidikan dan tenaga pendidik dari mancanegara masuk ke Indonesia. Untuk menghadapi pasar global maka kebijakan pendidikan nasional harus dapat meningkatkan mutu pendidikan, baik akademik maupun non-akademik, dan memperbaiki manajemen pendidikan agar lebih produktif dan efisien serta memberikan akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan.
Seperti kita ketahui bersama, bahwa problem dan tantangan pendidikan nasional dalam memasuki globalisasi harus dihadapi dengan pendekatan dan metode yang sesuai dengan kondisi masyarakat dan tuntutan perubahan di masa depan. Fenomena yang terjadi pada dunia pendidikan di era global ini adalah selalu tertinggal jika dibandingkan dengan perkembangan teknologi, informasi dan dunia bisnis.
Pendidikan merupakan sebuah usaha yang berjalan secara terus menurus untuk menjadikan manusia (masyarakat) mencapai taraf kemakmuran. Pendidikan di Indonesia dilihat dari segi mutunya masih sangat memprihatinkan.
Pendidikan cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial. Pendidikan sistem persekolahan hanya mentransfer kepada peserta didik apa yang disebut the dead knowledge, yakni pengetahuan yang terlalu bersifat text-bookish sehingga bagaikan sudah diceraikan baik dari akar sumbernya maupun aplikasinya.
Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi sejauh ini belum menampakkan hasilnya. Mengapa kebijakan pembaharuan pendidikan di tanah air kita dapat dikatakan senantiasa gagal menjawab problem masyarakat? Sesungguhnya kegagalan berbagai bentuk pembaharuan pendidikan di tanah air kita bukan semata-mata terletak pada bentuk pembaharuan pendidikannya sendiri yang bersifat erratic, tambal sulam, melainkan lebih mendasar lagi kegagalan tersebut dikarenakan ketergantungan penentu kebijakan pendidikan pada penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam perubahan sosial yang sudah usang. Ketergantungan ini menyebabkan adanya harapan-harapan yang tidak realistis dan tidak tepat terhadap efikasi pendidikan.
Menghadapi kenyataan di atas, sekaligus sebagai respon terhadap lamban dan kurang dinamisnya pendidikan di Indonesia, maka upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan nasional dimasa harus dijadikan agenda utama disamping perbaikan manajemen dan pemerataan pendidikan.

UNESCO sebagai lembaga yang mengurusi masalah pendidikan di bawah naungan PBB telah merumuskan empat pilar pendidikan dalam rangka pelaksanaan pendidikan untuk masa sekarang dan masa depan, pilar tersebut adalah pilar (1) learning to Know (belajar untuk mengetahui), (2) learning to do (belajar untuk melaku kan sesuatu) dalam hal ini kita dituntut untuk terampil dalam melakukan sesuatu, (3) learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan (4) learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama). (5) learn how to learn (belajar men ggunakan metode yang tepat) dan yang terakhir learning trou gho ut life (belajar sepanjang hayat).
B.           Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di uraikan, dapat dirumuskan masalah-masalah yang akan dibahas pada makalah ini yaitu sebagai berikut:
  1. Apa pengaruh globalisasi dalam pendidikan di Indonesia?
  2. Bagaimana hubungan pendidikan dan jeratan arus globalisasi?
  3.  Bagaimana dehumanisasi rasionalitas globalisasi?
  4. Apa visi pendidikan di era globalisasi?
  5. Bagaimana analisa para ahli mengenai pendidikan nasional  dalam globalisasi?
  6. Bagaimana pengembangan SDM Indonesia menghadapi globalisasi?

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.      Mengetahui dan memahami bagaimana pendidikan dan pembelajaran dalam menghadapi tantangan global.
2.      Mengetahui pengaruh globalisai dalam pendidikan.
3.      Memahami visi pendidikan dalam globalisasi
4.      Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Pendidikan.



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengaruh Globalisasi dalam Pendidikan
Dalam hembusan era globalisasi, gemanya tak hanya menerpa bidang ekonomi dan informasi/telekomunikasi saja, tetapi menyentuh hampir semua tatanan kehidupan umat manusia. Esensinya adalah bahwa kerja sama internasional antarnegara merupakan prasyarat dalam menata kehidupan global yang lebih baik. Globalisasi bukan berarti persaingan antarbangsa dalam arti sempit. Globalisasi bukan berarti persaingan antarbangsa dalam arti sempit. Globalisasi bukan pula penindasan si kuat kepada si lemah, tetapi lebih merupakan pranata baru antarbangsa yang berpijak pada semangat kebersamaan guna kehidupan masyarakat yang lebih baik. Di tengah pesimisme konflik kepentingan antarbangsa di beberapa bagian belahan dunia, ternyata globalisasi menjanjikan nuansa baru bagi kehidupan yang lebih arif dengan berlandaskan kebersamaan, saling menghormati, saling membutuhkan.
Naisbit dan Patricia (1990: 38-39, 244-245) merinci beberapa konsekuensi logis adanya globalisasi di bidang pendidikan ini antara lain:
Pertama, dalam globalisasi, sistem nilai dan filsafat merupakan posisi kunci dalam garapan pendidikan nasional. Semua negara menempatkan sistem nilai dan etika sebagai landasan utama dalam merancang kurikulum nasionalnya. Di Amerika Serikat misalnya, saat ini sekitar 5000 sekolah sudah mulai merintis mengajarkan filsafat untuk anak yang mula pertama dikembangkan oleh Mattew Lipman dengan Institute for the Advance of Philosophy for the Children. “Suatu hal yang tak mungkin mengembangkan pengetahuan tanpa sistem nilai”, dengan demikian dikatakan Nathan Quinones seorang konselor sekolah di New York.
Kedua, globalisasi menuntut adanya angkatan kerja yang berkualifikasi dan berpendidikan (skilled and educated). Dalam masyarakat informasi, lapangan kerja terutama dialamatkan pada mereka yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang berlatar pendidikan yang memadai. Sebaliknya, mereka  yang miskin keterampilan dan tuna pendidikan, akan berderet mengisi barisan pengangguran atau sebagai kelompok pekerja dengan gaji yang sangat minim. Sebagai perbandingan, presentase pengangguran di Amerika Serikat untuk lulusan S1 atau lebih (graduate) hanyalah 1,7%. Untuk lulusan diploma atau akademi mencapai 3,7%, sedangkan lulusan sekolah menengah sebanyak 5,4%.
Ketiga, kerja sama pendidikan mutlak di perlukan. Kerja sama internasional di bidang pendidikan adalah sisi lain daripada konsekuensi globalisasi. Bantuan dana, pengiriman tenaga ahli, ataupun pemberian beasiswa dan pengiriman siswa tugas belajar ke luar negeri merupakan salah satu bentuk kerja sama internasional di bidang pendidikan. Di jepang misalnya, kendati angka partisipasi pendidikan cukup tinggi dengan proporsi lulusan di bidang sains tertinggi (mencapai 68% dari total lulusan yang ada), negara matahari terbit ini masih secara gencar melaksanakan kerja sama internasional di bidang pendidikan. Hal yang sama juga terjadi di Taiwan. Negeri Cina nasionalis ini, setiap tahunnya mengirim sekitar 7000 lulusan SMU untuk disekolahkan ke berbagai universitas di USA. Saat ini, di Taiwan terdapat angkatan kerja sekitar 100.000 lulusan USA, dan 10.000 orang di antaranya telah meraih gelar Doktor.
Ihwal globalisasi di bidang pendidikan ini sebenarnya telah dirintis badan dunia PBB semenjak dua dasawarsa yang lalu. Lewat “trilog pendidikan global” misalnya, badan dunia PBB di bidang pengembangan telah mencanangkan tiga kebutuhan mendesak bagi pendidikan global, terutama bagi negara berkembang, yaitu:
  1. demokrasi pendidikan,
  2. modernisasi pendidikan dengan menghormati identitas budaya, serta
  3. adaptasi pendidikan dengan tuntutan pekerjaan produktif searah dengan kebutuhan lapangan kerja.
Di bidang demokratisasi pendidikan, tercuat nilai hakiki tentang pendidikan itu sendiri bahwa melalui pendidikan yang ditempuh dimaksudkan untuk mendidik masyarakat menuju kemandirian, menuju ke suatu wujud pemerataan untuk memperoleh pendidikan seluas-luasnya. Pendidikan adalah universal dan hak semua orang atau lazim juga disebut sebagai education is universal and for all.
Modernisasi pendidikan mencakup antara lain keragaman alternatif dalam pelayanan pendidikan dan proses belajar-mengajar. Beberapa bentuk modernisasi pendidikan antara lain pendidikan jarak jauh, pendidikan dengan multimedia, cara belajar tuntas, atau dengan pendekatan nonkonvensional lainnya dalam bidang pendidikan. Semuanya bermuara sama ke arah globalisasi pendidikan, serta pemerataan perolehan pendidikan untuk semua orang tanpa rintangan atau hambatan, baik secara geografis, psikis, fisik, finansial maupun halangan yang sifatnya dukungan kultural.
Adaptasi pendidikan merupakan hakikat usaha ke arah menjembatani kesenjangan antara angkatan kerja yang dihasilkan lembaga pendidikan dengan lapangan kerja yang tersedia. Kesenjangan ini bisa bersifat kesenjangan okupasional, kesenjangan akademik, ataupun mungkin kesenjangan kultural/budaya, karena masyarakat belum siap secara kultur dalam mengantisipasi gejolak perkembangan yang ada.
B.       Hubungan antara Pendidikan dan Jeratan Arus Globalisasi
Pendidikan dimaknai oleh banyak pakar sebagai institusi untuk mendidikan generasi manusia dengan berbagai disiplin ilmu. Peradaban manusia juga tidak terlepas dari penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dunia akan berubah menjadi maju atau bahkan mengalami kemunduran tergantung pada penguasaan pengetahuan. Dilihat dari aspek historis pendidikan di Indonesia adalah warisan kolonial belanda yang sampai sekarang watak pendidikan Indonesia masih tercerabut dari akar tradisi.
Untuk menata kembali butuh sistem pendidikan yang jelas, dan yang paling vital adalah bagaimana merumuskan paradigma. Belum lagi terkait dengan kebijakan pemerintah saat ini, kebijakan belum berpihak kepada masyakat yang belum mampu. Hegemoni negara tentu sangat bersinggungan dengan kebijakan pendidikan, sehingga kekuasaan dan pendidikan harus dipisahkan dari mata rantai kepentingan politik sesaat.
Kemajuan peradaban yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi berimplikasi pada moralitas manusia. Efek globalisasi misalnya telah merambah berbagai sektor kehidupan manusia, mulai dari alat komunikasi, transportasi, dunia maya, dan kecanggihan teknologi lainnya. Globalisasi telah berdampak pada mainstream bahwa manusia harus bisa mengendalikan teknologi.
Globalisasi ditandai dengan ketersinggungan antara negara, pasar atau sistem ekonomi global dan masyarakat sipil. Kalau diurai maka persoalan pendidikan Indonesia tidak hanya masalah penataan kurikulum, profesionalitas guru, out-put lembaga pendidikan, paradigma pendidikan, dan persoalan internal penyelenggaraan lembaga pendidikan lainnya. Tapi lebih dari itu ada faktor eksternal yang juga sangat berpengaruh pada pendidikan Indonesia yaitu persoalan rakyat miskin sehingga tidak mampu sekolah, disorientasi kebijakan pemerintah, pendidikan market oriented, relasi kekuasaan negara, dan pusaran arus globalisasi.
Rumusan paradigma pendidikan tentu jangan sampai lemah karena terseret arus globalisasi. Sehingga tidak mengorbankan nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan dengan memaksa out-put untuk diterjunkan ke dunia pasar kerja. Karena globalisasi tidak bisa dibendung maka sikap kita adalah harus berdapasi secara arif tanpa harus menolaknya. Kekuasaan negara yang berkolaborasi dengan kekuatan ekonomi global inilah yang menimbulkan dampak negatif dalam segala sektor negara termasuk dalam hal ini adalah dunia pendidikan.
C.      Visi Pendidikan di Era Globalisasi
Dalam sebuah penelitiah ilmiah Human Recource Development in the Globalization Era, Vision, Mission, and Programs of Action for Education and Training Toward 2020 H.A.R Tilaar, menjelaskan tentang program aksi menyeluruh dalam menghadapi gelombang globalisasi. Empat kekuatan yang perlu dicermati pendidikan nasional; 1) kerjasama regional dan internasional, 2) demokrasi dan peningkatan kesadaran HAM serta pemberdayaan masyarakat (social empowerment), 3) kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, 4) identitas bangsa dan internasionalisme.
Orientasi kebijakan negara yang mengendepankan ideologi developmentalisme telah menyeret masyarakat ke jurang kemiskinan, betapa tidak infrastruktur yang dibangun tentu hanya diperuntukkan bagi mereka yang kaya. Jarak (detachment) kelas sosial si kaya dan si miskin semakin jelas terlihat dari akses masyarakat kecil terhadap perlindungan hukum. Produk hukum hanya untuk melindungan pada pemegang modal. Implikasi pada dunia pendidikan adalah bahwa sekolah juga dijadikan ajang bisnis. Pendidikan semakin mahal dengan dalih fasilitas tehnologi canggih yang butuh modal hanya sebagai servis pendidikan.
D.       Analisa Para Ahli Mengenai Pendidikan Nasional  dalam Globalisasi
Ignas Kleden memberikan analisa kritis bahwa pendidikan nasional. Pertama, harus menciptakan masyarakat yang mempunyai kemampuan berfikir logis dan bertindak logis. Kedua, pendidikan humaniora harus dibedakan dari ilmu-ilmu humaiora dalam pengertian epistemologis, sehingga pendidikan humaniora menekankan kualitas-kualitas manusiawi dari peserta didik. Ketiga, pendidikan bukan hanya menciptakan orang dengan keahlian, tetapi orang-orang dengan kemampuan belajar tinggi.
Tanpa mengabaikan otoritas negara dan arus globalisasi yang terus menggerus kekuatan masyarakat sipil, sistem pendidikan Indonesia harus merobah fundamen paradigma pendidikan. Pertama, perlu penataan sistem pendidikan yang beradaptasi dengan kekuatan global. Kedua, penegakan supremasi hukum dan kedaulatan politik nasional demi menciptakan kondusifitas segala sektor kehidupan, demokrasi, agama, pendidikan, sosial, politik, ekonomi, budaya, hankam. Ketiga, paradigma pendidikan untuk semua kalangan—education for all—dan pendidikan sepanjang hidup—long life education—harus menjadi mainstream kebijakan pendidikan nasional. Keempat, di masa depan perlu memberi peranan yang seluas-luasnya kepada kaum wanita untuk mendapat kesempatan dalam pendidikan. Kelima, pentingnya media elektronik dalam penyebarluasan pendidikan, termasuk pengembangan sistem belajar jarak jauh dan pemanfaatan komputer untuk pendidikan. Keenam, publikasi dan penelitian serta pengembangan pendidikan merupakann hal yang sangat mendasar bagi setiap masyarakat yang ingin maju.
E.        Pengembangan SDM Indonesia Menghadapi Globalisasi
Dalam kompetisi menghadapi globalisasi Sumber Daya Manusia memegang peranan yang sangat penting. Bila tidak siap maka manusia Indonesia akan tergilas oleh globalisasi. Akan tetapi bila siap, maka kita akan menjadi sang pemenang. Secara sederhana kita dapat mendefisikan sikap pemenang (winner) yaitu:
  • Adalah mereka yang berada didepan perubahan, terus-menerus meredifinisi bidang kegiatannya, menciptakan pasar baru, membuat trobosan baru, menemukan kembali cara-cara berkompetisi, menantang status quo.
  • Pimpinan yg mau mendesentralisasi kekuasaannya dan mendemokratisasikan strateginya dengan melibatkan berbagai orang baik yg ada di dalam maupun di luar organisasinya dalam proses menemukan kiat utk menghadapi masa depan
Untuk menghadapi globalisasi kita dapat menerapkan kiat 3C yaitu:
  • Competence,
  • Concept and
  • Connection
Dengan mengembangkan 3C diatas maka diharapkan akan terjadi peningkatan sumber daya manusia Indonesia menghadapi globalisasi.
F.        Pendidikan Masa Depan
1. Tantangan Masa Depan bagi Pendidikan
Menurut Prof Dr Yahya Muhaimin, sedikitnya ada tiga hal yang merupakan tantangan bagi pendidikan Indonesia di masa depan. Pertama, arus globalisasi yang berlangsung sejak awal tahun 1990an dan hingga kini masih terasa pengaruhnya. Kedua, sistem pendidikan yang masih mencari kemantapan dan kestabilan. Ketiga, nilai-nilai budaya masyarakat indonesia yang belum bisa mendudukan proses pembaharuan, seperti : ”jalan pintas”, tidak disiplin, egosentris, patrimonialisme
Perkembangan pendidikan secara nasional di era reformasi, yang sering disebut-sebut oleh para pakar pendidikan maupun oleh para birokrasi di bidang pendidikan sebagai sebuah harapan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini dengan berbagai strategi inovasi, ternyata sampai saat ini masih berwujud impian. Bahkan hampir bisa dikatakan bahwa yang kita peroleh saat ini bukanlah kemajuan, melainkan “sebuah kemunduran yang tak pernah terjadi selama bangsa ini berdiri”.
Kalimat tersebut mungkin sangat radikal untuk diungkapkan, tapi inilah kenyataan yang terjadi di lapangan, sebagai sebuah ungkapan dari seorang guru yang mengkhawatirkan perkembangan pendidikan dewasa ini.
Tidak dapat dipungkiri, berbagai strategi dalam perubahan kurikulum, mulai dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sampai pada penyempurnaannya melalui Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), merupakan sebuah inovasi kurikulum pendidikan yang sangat luar biasa, bahkan sangat berkaitan dengan undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni yang menyatakan bahwa pengelolaan satuan pendidikan usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah, dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip MBS.
Proses pendidikan tidak hanya sekadar mempersiapkan anak didik untuk mampu hidup dalam masyarakat kini, tetapi mereka juga harus disiapkan untuk hidup di masyarakat yang akan datang yang semakin lama semakin sulit diprediksi karakteristiknya.
Kesulitan memprediksi karakteristik masyarakat yang akan datang disebabkan oleh kenyataan bahwa di era global ini perkembangan masyarakat tidak linier lagi. Perkembangan masyarakat penuh dengan diskontinuitas. Oleh karena itu, keberhasilan kita di masa lalu belum tentu memiliki validitas untuk menangani dan menyelesaikan persoalan pendidikan masa kini dan masa yang akan datang.
Pada era globalisasi, era abad ke-21, di samping dunia mengalami perkembangan teknologi yang dahsyat, termasuk teknologi informasi, dunia juga mengalami keterbukaan yang amat sangat, sehingga umat manusia mengalami mobilitas yang bukan main cepatnya. Karena itu kita juga mengalami perubahan masyarakat yang tidak putus-putusnya, yang menyebabkan umat juga mengalami ketidakseimbangan. Konstagnasi ini bisa dilihat dari buah pikiran para pemikir dunia, seperti John Naisbitt, Samuel Huntington, Kenichi Ohmae, Francis Fukuyama, dan lain-lain.

Pada dimensi yang lain, globalisasi akan memudahkan masuknya nilai-nilai baru. Begitu deras nilai-nilai baru itu membanjiri masyarakat sehingga amat sering tidak lagi dapat di kontrol secara memadai. Akhirnya anggota masyarakat menjadi mengalami kebingungan dan ketidak-seimbangan hidup, bahkan shizophrenia. Dalam kondisi seperti itulah maka tidak pernah akan mudah orang memiliki daya kreatifitas dan kompetitif.
Selain itu, guna menciptakan dan memelihara anggota masyarakat menjadi ”kuat” maka lembaga dan sistem pendidikan harus menopangnya. Yakni agar lembaga dan sistem pendidikan kita benar-benar berfungsi secara optimal. Sistem ini pada satu segi menyediakan sarana dan prasarana yang memadai, dan pada segi lain juga membina serta memelihara para guru menjadi kuat, menjadi memiliki kompetensi yang memadai antara dengan menjaga harga diri dan wibawa serta kesejahteraan ekonomi para guru sehingga bisa berfungsi secara optimal.
Hal yang penting di dalam proses pendidikan tersebut, karena itu, adalah terpeliharanya ”rasa ingin tahu” (curiosity), sebab tanpa adanya curiosity maka sulit bagi kita untuk mempunyai kreativitas dan inovasi.
Dan walaupun kontroversi terhadap dimensi struktural dan kultural hingga kini belum berakhir, namun faktor budaya merupakan faktor yang penting. Nilai-nilai budaya dapat menjadi faktor penunjang yang utama namun juga dapat menjadi tantangan yang serius. Pola budaya yang amat dominan dalam kehidupan orang indonesia adalah patrimonialisme, kolektivisme dan paternalisme.
Paternalisme selama ini telah menjadi faktor stabilisator, demikian juga kolektivisme (sharing atau kebersamaan) telah mendorong terpeliharanya harmoni di dalam masyarakat. Pada masa-masa era zaman klasik, patrimonialisme juga telah mendorong berlangsungnya kestabilan.
Namun dalam era keterbukaan dan reformasi, maka pola-pola budaya seperti di atas harus mengalami transformasi sebagaimana Jepang mengalami transformasi dari nilai samurai menjadi nilai entrepreneurial yang begitu inovatif dan kompetitif

2. Pendidikan yang Ber-nilai
Tanpa mengurangi arti hasil-hasil pendidikan yang telah dicapai selama ini dan juga program yang telah, sedang dan terus dilaksanakan, pendidikan nasional Indonesia ke depan, harus menggunakan konsep kebermaknaan dalam setiap kegiatan pembelajarannya, atau dalam istilah singkatnya pendidikan yang ber-nilai. Artinya, pendidikan jangan lagi difungsikan sebagai formalitas kegiatan pemerintah yang menghabiskan dana trilyunan rupiah, tetapi betul-betul harus mampu memberikan value (nilai) bagi peserta didik sehingga mereka mampu hidup secara dinamis di masyarakat, mampu beradaptasi, dan terbebas dari rasa ketergantungan terhadap orang lain karena ilmu yang diperoleh mampu menopang perjuangannya untuk mencapai penghidupan yang layak.
Untuk dapat memberikan nilai yang lebih pada pendidikan kita, secara teknis upaya pembelajaran yang ofensif dan pro aktif (offensive learning) menjadi tuntutan mutlak. Prinsipnya, proses pembelajaran tidak dikendalikan oleh guru, tetapi dikendalikan oleh peserta didik/pembelajar. Apa yang harus diajarkan, bilamana diajarkan, dan bagaimana harus diajarkan semuanya ditentukan oleh pembelajar. Pola pikir yang mendasarinya adalah pendidikan baik formal maupun non formal tidak lagi terpisah dengan dunis bisnis, perdagangan dan politik yang notabene merupakan realita kehidupan sehari-hari.
Dengan konsep pembelajaran yang ber-nilai, kompetensi yang berbasis kecakapan hidup (life skill) menjadi tujuan pembelajaran yang terpenting. Siswa diharapkan tidak hanya mampu mempelajari ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi sebatas teori, tetapi betul-betul menjadi keterampilan hidup yang dapat dijadikan bekal untuk hidup secara bermakna bagi semua peserta didik. Jadi paradigma pendidikan masa depan harus diubah dari sekolah untuk mendapatkan ijazah atau keterangan lulus, menjadi sekolah untuk mendapatkan ilmu sebagai bekal hidup. Dengan demikian, di masa-masa mendatang tidak akan terdengar lagi lulusan sekolah yang menganggur karena tidak mendapatkan pekerjaan, sebab mereka akan mampu menciptakan lapangan kerja sendiri, bahkan untuk orang lain. Sekolah di masa depan ibaratnya seperti orang “magang”. Jadi ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh di sekolah langsung bisa dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Hanya saja, agar dapat memberikan pendidikan yang ber-nilai bagi peserta didik dibutuhkan paling tidak 3 konmponen yang berkualitas dan saling menunjang, yaitu guru, kurikulum dan sarana prasarana belajar.
Harus diakui, guru adalah komponen terpenting dalam upaya pencapaian pendidikan yang ber-nilai. Karena siapapun pasti sependapat bahwa guru merupakan unsur utama dalam keseluruhan proses pendidikan, khususnya di tingkat institusional dan instruksional. Tanpa guru, pendidikan hanya akan menjadi slogan muluk karena segala bentuk kebijakan dan program pada akhirnya akan ditentukan oleh kinerja guru. Oleh karena itu, supaya pendidikan menjadi ber-nilai, maka guru yang bertanggung jawab terhadap berhasil tidaknya pendidikan haruslah guru yang betul-betul profesional dan memiliki nilai plus. Profesional ditandai dengan keahlian, tanggung jawab dan rasa kesejawatan yang tinggi serta didukung oleh etika profesi yang kuat. Sedangkan nilai plus ditandai dengan wawasan pengetahuan dan atau pengalaman yang luas dalam bidang bisnis, perdagangan dan menyiasati hidup. Tanpa guru yang profesional dan memiliki nilai plus, proses pembelajaran di sekolah tidak akan berjalan optimal dan hanya akan berhenti sebatas teori. Akibatnya tujuan pendidikan agar ber-nilai bagi peserta didik tidak akan pernah tercapai.
Kurikulum, juga merupakan komponen yang tidak kalah pentingnya untuk mencapai pendidikan yang ber-nilai. Karena kurikulum tidak saja menentukan arah dan tujuan pendidikan yang ingin dicapai, tetapi secara teknis kurikulum juga menjadi acuan pelaksanaan program pembelajaran di sekolah. Program pembelajaran yang dimaksud adalah Program Tahunan, Program Semester, maupun program yang digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran yang dikenal dengan nama Satuan Pembelajaran dan Rencana Pembelajaran. Kurikulum yang mendukung pendidikan yang ber-nilai adalah kurikulum yang memberikan akses seluas-luasnya pada peserta didik untuk mengembangkan kecakapan hidup sesuai potensinya. Untuk itu setiap poin kegiatan pembelajaran yang tercantum dalam kurikulum secara jelas dan tegas hendaknya mencantumkan kemampuan riil yang dimiliki peserta didik yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara sarana prasarana pendidikan merupakan komponen penunjang yang tidak dapat diabaikan dalam pencapaian pendidikan yang ber-nilai. Kuantitas dan kualitas sarana prasarana pendidikan, akan sangat menentukan keberhasilan program pembelajaran di sekolah. Hal ini bisa dipahami karena sarana prasarana pendidikan merupakan pendukung langsung terselenggaranya kegiatan pembelajaran. Termasuk dalam sarana prasarana pendidikan ini adalah alat pembelajaran (buku dan alat tulis), alat peraga, media pendidikan, gedung, meubeler (meja, kursi, dll), jalan menuju sekolah, asrama, dan sebagainya.

3. Perkembangan Teknologi Pendidikan
Pernahkah anda membayangkan bahwa sekitar 10 tahun atau 15 tahun kedepan, pendidikan tidak lagi membutuhkan diktat tebal yang mesti dijinjing setiap harinya melainkan digantikan dengan e-modul atau e-book serta konsep ujian yang serba online. Kira-kira seperti itulah bayangan sekolah masa depan yang akan kita hadapi di waktu yang tak terlalu lama lagi.
Maraknya perkembangan teknologi yang diaplikasikan dalam dunia pendidikan mulai dari perangkat hingga software edukasi memang menopang harapan yang besar dari semua orang agar mampu mewujudkan potret sekolah masa depan yang jauh lebih baik dari kondisi yang ada sekarang.
Dimulai dengan demam homeschooling yang terjadi beberapa tahun silam telah menjadi napak tilas kemajuan pendidikan khususnya dalam kaitannya dengan perkembangan teknologi. Dahulu tak pernah terbayang bahwa kita bisa menikmati pelajaran tanpa harus beranjak dari rumah serta mampu melaksanakan ujian di meja belajar kita sendiri dengan bantuan internet.
Selanjutnya perkembangan software edukasi yang marak dikembangkan untuk membantu para siswa belajar baik dalam hal simulasi, praktek teori serta perkembangan e-book dan e-modules yang bisa didapatkan oleh siswa juga makin memperkuat peranan teknologi dalam membantu dunia pendidikan.
Menggunakan teknologi memungkinkan siswa lebih banyak untuk secara aktif berpikir tentang informasi, membuat pilihan, dan melaksanakan keterampilan daripada yang biasanya dibimbing oleh guru. Apalagi, ketika teknologi digunakan sebagai alat untuk mendukung siswa dalam melaksanakan tugas-tugas otentik, para siswa berada dalam posisi menentukan tujuan mereka, membuat keputusan desain, dan mengevaluasi kemajuan mereka.
Peran guru pun turut berubah. Guru tidak lagi menjadi pusat perhatian sebagai dispenser informasi, melainkan memainkan peran sebagai fasilitator, menetapkan tujuan proyek dan memberikan pedoman dan sumber daya, bergerak dari siswa untuk siswa atau kelompok ke kelompok, memberikan saran dan dukungan untuk kegiatan siswa.
Kemampuan untuk mendapatkan fasilitas online dengan bantuan guru untuk penelitian proyek adalah keuntungan besar bagi para siswa dan bahkan suatu keharusan dengan pertimbangan bahwa mereka akan perlu melakukannya ketika mereka telah lulus sekolah dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Dengan memanfaatkan teknologi dalam kelas, siswa bisa mendapatkan ilmu baru dan keterampilan yang dapat berguna pada tingkat berikutnya di mana kelak dapat diterapkan pada pekerjaan di masa depan dan kehidupannya sehari-hari.


BAB III
PENUTUP
Pendidikan berjalan sepang h ayat masyarakat, dengan menekankan sikap kreatif, kritis, tanggap terhadap permasalahan lingkungan dan memiliki nilai moral yang tinggi. Selain itu pendidikan tidak terlepas dari kultur bangsa sebagai karakter, dan tentunya adan ya kesesuaian antara tujuan pendidikan dan kebutuhan sumber daya manusia yang diperlukan di masyarakat. Pemerintah sebagai salah satu tonggak pelaksanaan pendidikan sudah menjadi kewajiban ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan pelayanan pendid ikan sebagaimana tercantum dalam UU Dasar 45 yaitu mencerdask an kehidupan bangsa. Pendidikan di Indonesia untuk masa depan selain mengedepankan aspek intelektualitas juga menekankan aspek kesadaran moral sebagai penyeimbang tatkala seorang peserta didik berinteraksi langsung baik dengan pendidik atau masyarakat umum. Begitu banyak tantangan dan permasalahan dalam pendidikan untuk menghadapi masa depan. Sehingga kualitas pendidikan harus terus ditingkatkan agar kita mampu menghadapi segala tuntutan masa depan. Harus banyak perubahan mulai dari system pendidikan itu sendiri, nilai-nilai karakter bangsa dan juga pemanfaatan perkembangan teknologi masa depan.



DAFTAR PUSTAKA
Wahyudin, Dinn, 2006, Pengantar Pendidikan, Cetakan ke-17, Universitas Terbuka, Jakarta